Untukmu, Nile.
Engkau selalu tenang, walau kau saksikan sekitarmu ingar bingar, kota yang ketika bertambah gelap maka bertambah pula kesibukannya.
Engkau tetap tenang dalam gelapnya malam, walau kau tahu, mereka mati-matian menghiasimu dengan kerlipan berjuta lampu. Juga mendendangkan musik favorit dengan kencang.
Ya, engkaulah Nile. Jantung seluruh peradaban tertua ini. Tanpamu, semua ini tak akan pernah ada. Juga, satu-satunya saksi bisu peristiwa yang tak tehitung lagi nilainya tamat kau saksikan.
Lalu, aku? Lagi-lagi, seorang yang masih menatapmu dengan tatapan kosong.
Namun kau tahu benar arti tatapan itu. Tatapan yang sama, saat aku datang dengan luka. Hanya berharap lukaku sedikit terobati. Huh..
Apa benar, kau akan menjadi saksi bagi indahnya kisahku seperti bejuta kisah indah lain yang telah kau saksikan? Kalau iya, aku akan sabar menunggu. Dengan membawa luka, aku masih berharap kisah yang indah? Sial. Sedangkan trauma menghimpitku dari tiap sudut. Yang seperti apa lagi yang sebenernya aku harapkan?
Tahukah? Aku datang bukan hanya membawa luka, aku juga membawa tanya. Mungkin kau bisa bantu pecahkan, Nile. Sepertinya kapasitas otak dan hatiku sudah tidak bisa menampungnya lagi.
Nile, apa semua sama? Selalu tawarkan madu, sedang mereka sembunyikan racun? Ataukah aku yang terlalu naif? Selalu mengharapkan keindahan yang belum tentu jadi milikku. Aku menjadi semakin takut, takut dengan apa yang akan kuhadapi jika harap itu tumbuh semakin subur. Aku tak semai benihnya, sungguh. Aku hanya merawat tunasnya hingga berbunga, naas.
Nile, kau juga tahu lelahku. Merangkai semuanya sebaik mungkin seorang diri. Lalu mereka hancurkan tanpa basa-basi. Seperti tak pernah ada sebelumnya, bukankah mereka yang membuat keterasingan itu jadi keakraban? Namun mereka juga yang membalikkanya semudah membalikkan telapak tangan. Lalu sisakan aku dengan kenangan dan luka. Aku muak.
Sekarang aku tak bisa bedakan muak dan takut.
Komentar
Posting Komentar