Oktober, Hujan dan Rahasia
Oktober. Dengan segala hiruk pikuknya. Berlalu seperti secepat kedipan mata. Bukan. Bukan tanpa makna. Melainkan pada tiap inci harinya miliki pelajaran dari pengalaman. Begitu juga dari tiap sudut jamnya, ditemukan pengingat akan hal yang terkadang alpa.
Temukan Oktober tak mudah, drama telah dihadapi. Jadinya, ada enggan yang tercipta kala menyaksikannya sudah di pelupuk mata, begitu nyata walau tak tembus pandang. Ada khawatir yang menyeruak, mengeja berbagai kemungkinan buruk yang mungkin menyapa. Namun, apa daya. Berhenti tidak ada dalam kamus kehidupan.
Tersadar dari bayang-bayang dugaan, mencobalah aku untuk mengetuk pintu satu. Ternyata tak perlu sisihkan waktu untuk menunggu, tuan rumah mempersilakan masuk. Langkah pertama memasuki rumahnya, masih dengan langkah tersuruk. Berusaha menyeimbangkan langkah dengan ritme lagu. Selanjutnya aku menyukainya, walau ritme lagu Oktober sampai tak sisakan jeda untuk bernapas.
Tak lama baru ku tersadar, ternyata Oktober begitu familiar. Dinding yang penuh coretan jadwal sangat kontras dengan perabotan yang selalu beroperasi. Tidak ada kata berhenti, kecuali waktu istirahat. Di sinilah, aku menemukan ku kembali. Tidak ada batasan, kebebasan pemegang tahta tertinggi. Aku bisa melakukan apapun tanpa belenggu yang mengikat dari berbagai sisi. Ini melelahkan, tapi aku sungguh menikmati.
Saat menapaki tangga minggu kedua, aku salah melangkah. Sebab perkara remeh, aku memutuskan untuk minimal mengambil langkah jauh, jika mampu aku melompat. Nihil, tersungkurlah hasilnya. Ada yang salah, pikirku. Terkadang beberapa perkara tak perlu dihindari dan dipaksakan. Cukup hadapi atau biarkan hingga mereda. Ya, harusnya aku bertahan. Meniti tangga perlahan, karena aku akan sampai pada waktu yang tepat.
Berikutnya, semua berjalan sempurna. Hingga tiba di penghujung Oktober. Kabar yang dibawa hujan, mungkin. Sampai padaku tanpa ada awan hitam. Hujan yang mengguyur tanpa jeda, tak mampu berikan informasi lebih. Mulanya, aku hiraukan hujan, namun tak ada tempat berteduh. Alhasil, aku membaur dalam rintiknya. Menyelisik setiap sudut bumi. Yash, aku temukan pertanda yang dimaksud hujan. Namun aku bungkam. Sejatinya, ada rahasia yang tak perlu diungkap oleh sembarang orang. Aku hanya menunggu hujan berikutnya. Sedikit berharap bahwa ia bersama pelangi dibaliknya. Meski ketakutanku rasanya lebih jelas dibandingkan pelangi itu.
Sudahlah, aku harus siap untuk pamit pada Oktober. Melanjutkan perjalanan yang terbentang di depan. Terima kasih untuk setiap kesempatannya, Oktober.
Aku pamit.
Komentar
Posting Komentar